Bertemu Konstituen Enggan, Studi Banding Kencang
Ditulis oleh: Gebril Daulai
Meski terbaring lemas di rumah sakit dan sedang diinfus, salah seorang anggota DPRD di salah satu daerah di Sumatera Barat (Sumbar) masih sempat-sempatnya bertanya kepada stafnya yang datang berkunjung, ”kapan jadwal workshop saya,” katanya.
Ada pula anggota DPRD yang baru saja turun dari pesawat usai umrah dari tanah suci, sudah minta dibuatkan surat tugas mengikuti kunjungan kerja. Padahal, masa cutinya belum habis dan dia belum masuk kerja. Beruntung stafnya berani mengingatkan sang anggota dewan. Dia mencoba memberi pemahaman bahwa kunjungan kerja tak bisa dilakukan dalam masa cuti. Kalau mau berangkat juga harus masuk kerja dulu.
Sang anggota dewan tak jadi berangkat. Selamatlah dia. Bayangkan jika dia tetap ngotot pergi. Hari itu dia pulang ibadah, hari itu pula dia sudah menorehkan dosa pertamanya karena memaksa berangkat kunjungan kerja (kunker). Otomatis stafnya harus menyiapkan absensi fiktif untuk menyatakan bahwa hari itu dia sudah masuk kerja.
Inilah sekelumit cerita anggota dewan kita hari ini. Hampir sama di semua daerah, kabupaten/kota maupun provinsi. Perilakunya masih saja tetap tidak berubah. Kepeduliannya terhadap persoalan kemasyarakat masih lemah. Saat reses ke daerah pemilihan (dapil), terkadang hanya dihadiri 4 sampai 6 orang saja.
Untuk satu dapil, beranggotakan 11 sampai 12 orang. Beda saat kunker ke luar provinsi, tak satu orang pun yang mau ketinggalan. Yang sakit pun bela-belain untuk berangkat.
Banyak kegiatan yang membuka peluang DPRD ke luar daerah. Mulai dari workshop, dalam setahun anggaran bisa mencapai 8 kali, bahkan di beberapa kabupaten/kota yang sampai 10 kali. Studi banding/studi komparatif atau biaya operasional pimpinan (BOP) sebanyak 4 kali, kunjungan masa sidang 3 kali, kunjungan alat kelengkapan dewan rata-rata 3 sampai 4 kali dalam satu tahun, kunjungan insidentil tergantung kegiatan seperti pembahasan rancangan peraturan daerah (ranperda).
Untuk pembahasan perda, rata-rata satu tahun DPRD bisa membahas 12 perda. Setiap perda ada peluang kunjungan ke luar daerah tiga kali yakni studi banding, konsultasi dan konsultasi pimpinan. Jika ada 12 perda, berarti ada 36 kali kunjungan ke luar provinsi. Besaran dana yang mereka terima dari setiap kegiatan itu, bervariasi tergantung daerah tujuan dan jumlah harinya.
Untuk sekali workshop ke Jakarta, misalnya, anggota dewan terhormat ini mendapat uang belanja sekitar Rp 16 juta selama 4 hari. Biasanya, surat perintah perjalanan dinas (SPPD) sebanyak Rp 6,2 juta, tiket dan airport tax Rp 5 juta tergantung harga yang berlaku saat itu. Kemudian kontribusi sekitar Rp 4,5 juta dan taksi Rp 300 ribu.
Tingginya semangat kunker ini, tak lepas dari potensi rupiah yang bisa diraup dari sana. Sebab, ongkos politik yang mereka keluarkan untuk bisa duduk di DPRD sangat besar. Bayangkan, ada anggota DPRD kabupaten yang harus menghabiskan dana Rp 800 juta untuk meraih sekitar 2.500 suara. Jika dihitung secara matematis, maka harga setiap suara sebesar Rp 320 ribu. Sesuatu yang sangat mahal untuk ukuran Sumbar.
Ke depan, tugas pemerintah dan partai politik untuk mengedukasi pemilih. Sudahi memilih karena politik uang pada masa mendatang. Mari kita bangun politik yang sehat dan berkualitas. Jangan lagi gara-gara uang Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu, kita tega menggadaikan masa depan daerah dan bangsa dengan memilih orang yang tak berkualitas dan kurang responsif dengan persoalan masyarakat.
Para wakil rakyat jangan hanya diam saat membahas program dengan struktur kerja perangkat daerah (SKPD), bahkan terkadang ada yang tidak hadir. Padahal, di saat itulah mereka harus bersuara keras. Mengkritisi program pemerintah agar sesuai kebutuhan masyarakat, adalah peran yang dirindukan konstituen.
Ketua DPD Partai Golkar Sumbar Hendra Irwan Rahim menekankan bahwa perbaikan citra DPRD juga merupakan tanggung jawab partai. Sebab, para wakil rakyat yang duduk di DPRD itu merupakan perpanjangan tangan partai. Menurutnya, kunker ke luar provinsi itu tergantung kegiatan. Jika kegiatan DPRD banyak otomatis kunker juga banyak.
Yang penting, kata Hendra, hasil kunjungan itu dibahas bersama eksekutif dan benar-benar bisa memberi penguatan terhadap kegiatan yang dilakukan, misalnya terhadap substansi perda yang sedang dibahas. ”Kita selalu bilang kepada kader yang di DPRD untuk respons dengan persoalan masyarakat. Kalau ada anggota yang reses ke dapil hanya titip absen saja, silakan dilaporkan ke kami,” ujarnya.
Khusus kunker ke luar daerah, kata Hendra, tergantung kegiatan DPRD. Partai melalui fraksi sebagai perpanjangan tangannya di DPRD hanya bisa memberi masukan dan saran, hasilnya kan diputuskan bersama. Karena itu, ke depan, antarpartai yang memiliki anggota yang duduk di DPRD, secara bersama juga perlu membahas upaya perbaikan kinerja dan citra DPRD.
Aroma politik transaksional dan pragmatis juga merebak di lingkungan birokrasi pemerintah. Tarik menarik kepentingan begitu kental terasa dalam penempatan jabatan di ”kabinet” Irwan Prayitno-Muslim Kasim. Meski berkali-kali dibantah duet Irwan-MK, adu kekuatan di rumah bagonjong (Kantor Gubernur, red), di mata publik sudah menjadi rahasia umum. Tak heran, muncul istilah ”matahari kembar” di Pemprov Sumbar.
Bulan madu Irwan-MK praktis hanya seumur jagung. Kemesraan duet pemimpin yang mengusung jargon ”Perubahan Sumbar yang Lebih Baik”, dalam sekejap masuk angin kepentingan politik pragmatis. Sejumlah friksi terjadi selama 2011. Di antaranya, persoalan pelantikan penjabat Bupati Mentawai kepada Wabup Mentawai Yuddas Sabaggalet, yang juga bupati terpilih Mentawai, penggantian Harmensyah sebagai kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, dan penandatanganan MoU Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Penggunaan Anggaran Sementara (KUA PPAS) APBD 2012.
Adu kekuatan matahari kembar itu, semakin menguatkan kesan bahwa pemimpin daerah ini cenderung mengedepankan kepentingan kekuasaan, ketimbang bekerja keras untuk rakyat. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, hampir 95 persen hubungan kepala daerah dan wakilnya pada 2010, tidak harmonis. Keretakan itu pula memunculkan gagasan agar wakil kepala daerah dihapuskan dalam pemilihan kepala daerah dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada. Selanjutnya, wakil kepala daerah ditunjuk oleh kepala daerah pemenang pilkada.
Kentalnya politik transaksional dan pragmatis pejabat publik dan elite politik di Sumbar, dengan sendirinya membunuh harapan masyarakat terhadap masa depan Ranah Minang. Bila politik culas dan egois itu masih dikedepankan para aktor-aktor demokrasi di daerah ini, bukan tidak mungkin masyarakat semakin apatis dan permisif dengan pemimpinnya.
Krisis kepercayaan terhadap pemerintah bakal menguat pada 2012, mengingat semakin berjaraknya antara pemimpin dengan yang dipimpin. Bila pemerintah tidak mampu lagi membangun harapan rakyatnya, boleh jadi seorang pemimpin dikatakan gagal. Mumpung ada tiga tahun lagi, masih ada duet Irwan-MK mewujudkan slogannya ”perubahan Sumbar yang lebih baik.” (gebril daulai)
"Penulis selain berfrofesi sebagai wartawan juga aktif dalam berbagai organisasi.
Salah satu nya sebagai Wakil Sekretaris KNPI SUMBAR".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar