Oleh: Gunawan Handoko | LSM Puskap (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Lampung
Kalau saja kini Socrates masih hidup, tentu ia akan menjadi orang paling sibuk. Ia akan pontang-panting dengan aktivitas mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara perilaku santun dalam berpolitik.
SEANDAINYA Socrates masih ada, kira-kira apa yang akan ia lakukan ketika melihat banyak elite politik yang tidak santun dalam berpolitik? Lalu, apa kira-kira tindakan Socrates ketika melihat elite politik terlibat dalam saling hujat, tuding, menjatuhkan, bahkan adu jotos? Boleh jadi, Socrates akan menangis manakala melihat praktik politik yang dilakukan elite politik tidak seindah dengan yang ia ajarkan.
Jauh sebelum kehidupan politik carut-marut seperti sekarang ini, Socrates telah mengajarkan bahwa politik adalah kesantunan. Politik adalah martabat dan harga diri. Sehingga, dalam berpolitik seseorang harus memiliki keutamaan moral. Dalam tataran praksis, politik adalah ilmu dan seni yang berorientasi pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Manakala kepentingan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraannya terabaikan, sesungguhnya, hal ini telah menodai politik itu sendiri.
Perilaku santun adalah keniscayaan yang seharusnya menjadi sandaran tingkah laku dalam berpolitik. Sebab, dalam politik perbedaan adalah hal yang lumrah. Jika memaknai perbedaan tanpa memahami makna kandungan, aplikasinya justru akan menimbulkan konflik. Segala bentuk perbedaan akan menciptakan sebuah kebersamaan manakala kesantunan menjadi landasan pijak atau pondasi dalam bersikap, bertutur kata, dan bertingkah laku. Kesantunan akan menuntun seseorang untuk menghargai perbedaan pendapat. Kesantunan akan membimbing seseorang pada sebuah komitmen atau kesepakatan sehingga perbedaan menjadi benih untuk mewujudkan kebersamaan.
Memang pada kenyataannya yang akan selalu abadi dalam berpolitik adalah kepentingan. Artinya, selama kepentingannya sama maka kelanggengan dapat terjaga. Meski terkadang kita tidak sadar bahwa kepentingan yang dilanggengkan itu melanggar nurani atau menabrak rambu-rambu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pasti, apabila perilaku politik menjauhi kesantunan, baik sengaja maupun tidak sengaja, maka adegan yang akan terjadi selanjutnya adalah saling hujat, beradu argumentasi atau saling klaim dengan mengusung tema kepedulian akan nasib rakyat. Menyongsong pelaksanaan pemilihan bupati dan wali kota di Provinsi Lampung yang akan berlangsung 30 Juni 2010, kehidupan politik dan perpolitikan di provinsi ini senantiasa diwarnai adegan-adegan yang menarik untuk diperbincangkan. Aktivitas yang ditampilkan para kandidat pasangan calon bupati/wali kota dan wakilnya menjadi tontonan yang menghiasi wajah dinamika masyarakat dan media cetak maupun elektronik.
Seperti layaknya selebritis, para kandidat tampil dan menjadi komoditi berita yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. Peran yang disuguhkan belum menjadi tuntunan masyarakat, tapi justru sering menjadi bahan cemoohan atau buah bibir. Terlalu sering para kandidat melakukan kritik dengan menjelek-jelekkan kebijakan pemimpin sebelumnya. Lebih konyol lagi kritikan itu dilakukan kandidat incumben yang seharusnya secara moral ikut mengamankan kebijakan yang telah ada, terlepas dari persoalan apakah dirinya terlibat atau tidak pada saat kebijakan itu diambil. Bukan malah menepuk air di dulang yang pada akhirnya akan memercik ke muka sendiri.
Dalam melakukan sosialisasi hampir semua kandidat melakukan hal yang sama, yakni mengkritik kebijakan yang telah ada dan menjanjikan untuk melakukan perubahan jika dirinya terpilih nanti. Wajar, jika masyarakat lantas bertanya sinis, perubahan seperti apa? Akan lebih baik atau justru sebaliknya, karena pada kenyataannya masyarakat belum pernah melihat karya yang pernah dilakukan sang kandidat, baru sekedar janji. Rakyat kita khususnya yang ada di perkotaan sudah semakin cerdas dan berpikir rasional. Mereka tidak bisa lagi dicekoki dengan janji-janji muluk atau diiming-imingi dengan bantuan sembako. Rakyat butuh sesuatu yang pasti disertai bukti konkret. Rakyat juga tidak bisa lagi dipengaruhi oleh tampilan tokoh-tokoh agama seperti kiai dan ulama agar memilih calon tertentu.
Nyatanya, pada Pilpres yang lalu pasangan JK-Win yang diusung Partai Golkar mengalami kekalahan cukup telak walau mendapat dukungan dari tokoh NU dan Muhammadiyah. Padahal, dalam iklan kampanye pasangan JK-Win disebut-sebut sebagai pasangan yang mempresentasikan umat Islam. Sementara, pasangan SBY-Boediono yang sempat diterpa isu bahwa istri Cawapres Boediono sebagai nonmuslim, justru mampu menyelesaikan pilpres dengan satu putaran. Belajar dari itu semua, maka kunci utama untuk merebut hati rakyat adalah adanya sikap yang jelas dari kandidat. Para kandidat harus mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang bisa dijadikan teladan.
Apa yang dapat diyakini dan dicontoh masyarakat jika kandidatnya selalu mengkritik hal-hal yang tidak krusial. Masyarakat tentu akan menaruh simpati kepada calon pemimpin yang santun, rendah hati dan andap asor, ketimbang calon pemimpin yang selalu mengumbar janji dan menepuk dada bahwa dirinyalah yang terbaik. Bukankah baik buruknya seseorang bukan atas pengakuan diri pribadi, melainkan orang lain? Akibat perilaku politik seperti ini, maka yang mencuat ke permukaan adalah tampilan negatif yang terus mengendap di memori masyarakat. Masyarakat menjadi terkontaminasi oleh hal-hal yang sebenarnya hanya dilakukan oleh segelintir orang.
Politik santun semestinya telah menjadi bagian dinamika kehidupan perpolitikan di seluruh tanah air. Sebab, reformasi yang telah melahirkan dan mengakomodasi kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat semestinya menjadi tahapan terwujudnya kedewasaan berpolitik. Bahkan, reformasi semestinya menjadi garansi lahirnya politisi-politisi yang matang. Politik santun dan kesantunan berpolitik bukanlah sekedar wacana. Semua bisa diwujudkan dan tidak terlalu sulit untuk mewujudkannya.
Modalnya hanya sebuah dorongan dan tekad yang bulat untuk mempraktekkan politik yang bermoral dan santun dalam bingkai kesungguhan hati, kejernihan berpikir, serta keberanian untuk memulai. Bila ini dilakukan, tontonan yang disajikan para politisi kita akan berisi tuntunan yang menjadi referensi masyarakat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya politik masyarakat kita masih bersifat patron-clien.
Para kandidat harusnya mau belajar dari prinsip-prinsip kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo. Artinya elit politik harus menjadi contoh teladan bagi pengikutnya, yakni masyarakat. Dalam bahasa psikologi elit politik menjadi model bagi masyarakatnya. Menjadi kewajiban kita bersama untuk menyebarkan benih-benih positif tentang aspirasi rakyat dalam menentukan pilihan bagi calon pemimpinnya secara aman dan damai sebagai penyeimbang dan penyanding potensi-potensi konflik.
Harus disadari, dilihat secara psikososio kultural dan historis maka Pemilu sebagai instrumen politik sangat sarat dengan muatan konflik. Secara kultural, etika dan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kedisiplinan sangat berpeluang untuk dilanggar. Di sisi lain upaya menegakkan kultur agar yang menang siap rendah hati dan tidak arogan, yang kalah mau dan berani menerima kekalahan secara satria dan sabar merupakan kultur yang belum mapan dalam masyarakat kita. Nyatanya dalam setiap kali Pemilu sejak kampanye sampai pengumuman hasilnya psikologi massa cenderung labil dan mudah agresif. Kita patut bersyukur bahwa sebagian besar masyarakat di provinsi Lampung telah tertanam kesadaran akan arti pentingnya etika dan kedamaian yang tumbuh secara total dari bawah melalui sinergi hati nurani rakyat dan wawasan budaya.
Masih terbuka peluang bagi kita untuk mewujudkan pemilu aman dan damai sebagai jembatan emas membangun daerah kabupaten dan kota di provinsi Lampung yang lebih baik. Maka tidak ada pilihan kecuali semua pihak harus memainkan perannya untuk mewujudkan cita-cita tesebut. (*)
Indonesia hadirkan politik sehat khususnya di Sumatera amiiiin :)
BalasHapusPlease visit us : Situs Berita Terbaru Haluan Media