Our amazing new site will launch in

Kamis, 12 Januari 2012

MENUJU POLITIK SANTUN

Oleh: Gunawan Handoko | LSM Puskap (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Lampung


Kalau saja kini Socrates masih hidup, tentu ia akan menjadi orang paling sibuk. Ia akan pontang-panting dengan aktivitas mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara perilaku santun dalam berpolitik.
SEANDAINYA Socrates masih ada, kira-kira apa yang akan ia lakukan ketika melihat banyak elite politik yang tidak santun dalam berpolitik? Lalu, apa kira-kira tindakan Socrates ketika melihat elite politik terlibat dalam saling hujat, tuding, menjatuhkan, bahkan adu jotos? Boleh jadi, Socrates akan menangis manakala melihat praktik politik yang dilakukan elite politik tidak seindah dengan yang ia ajarkan.
    Jauh sebelum kehidupan politik carut-marut seperti sekarang ini, Socrates telah mengajarkan bahwa politik adalah kesantunan. Politik adalah martabat dan harga diri. Sehingga, dalam berpolitik seseorang harus memiliki keutamaan moral. Dalam tataran praksis, politik adalah ilmu dan seni yang berorientasi pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Manakala kepentingan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraannya terabaikan, sesungguhnya, hal ini telah menodai politik itu sendiri.
Perilaku santun adalah keniscayaan yang seharusnya menjadi sandaran tingkah laku dalam berpolitik. Sebab, dalam politik perbedaan adalah hal yang lumrah. Jika memaknai perbedaan tanpa memahami makna kandungan, aplikasinya justru akan menimbulkan konflik. Segala bentuk perbedaan akan menciptakan sebuah kebersamaan manakala kesantunan menjadi landasan pijak atau pondasi dalam bersikap, bertutur kata, dan bertingkah laku. Kesantunan akan menuntun seseorang untuk menghargai perbedaan pendapat. Kesantunan akan membimbing seseorang pada sebuah komitmen atau kesepakatan sehingga perbedaan menjadi benih untuk mewujudkan kebersamaan.
Memang pada kenyataannya yang akan selalu abadi dalam berpolitik adalah kepentingan. Artinya, selama kepentingannya sama maka kelanggengan dapat terjaga. Meski terkadang kita tidak sadar bahwa kepentingan yang dilanggengkan itu melanggar nurani atau menabrak rambu-rambu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pasti, apabila perilaku politik menjauhi kesantunan, baik sengaja maupun tidak sengaja, maka adegan yang akan terjadi selanjutnya adalah saling hujat, beradu argumentasi atau saling klaim dengan mengusung tema kepedulian akan nasib rakyat. Menyongsong pelaksanaan pemilihan bupati dan wali kota di Provinsi Lampung yang akan berlangsung 30 Juni 2010, kehidupan politik dan perpolitikan di provinsi ini senantiasa diwarnai adegan-adegan yang menarik untuk diperbincangkan. Aktivitas yang ditampilkan para kandidat pasangan calon bupati/wali kota dan wakilnya menjadi tontonan yang menghiasi wajah dinamika masyarakat dan media cetak maupun elektronik.
Seperti layaknya selebritis, para kandidat tampil dan menjadi komoditi berita yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. Peran yang disuguhkan belum menjadi tuntunan masyarakat, tapi justru sering menjadi bahan cemoohan atau buah bibir. Terlalu sering para kandidat melakukan kritik dengan menjelek-jelekkan kebijakan pemimpin sebelumnya. Lebih konyol lagi kritikan itu dilakukan kandidat incumben yang seharusnya secara moral ikut mengamankan kebijakan yang telah ada, terlepas dari persoalan apakah dirinya terlibat atau tidak pada saat kebijakan itu diambil. Bukan malah menepuk air di dulang yang pada akhirnya akan memercik ke muka sendiri.
Dalam melakukan sosialisasi hampir semua kandidat melakukan hal yang sama, yakni mengkritik kebijakan yang telah ada dan menjanjikan untuk melakukan perubahan jika dirinya terpilih nanti. Wajar, jika masyarakat lantas bertanya sinis, perubahan seperti apa? Akan lebih baik atau justru sebaliknya, karena pada kenyataannya masyarakat belum pernah melihat karya yang pernah dilakukan sang kandidat, baru sekedar janji.   Rakyat kita khususnya yang ada di  perkotaan sudah semakin cerdas dan berpikir rasional. Mereka tidak bisa lagi dicekoki dengan janji-janji muluk atau diiming-imingi dengan bantuan sembako. Rakyat butuh sesuatu yang pasti disertai bukti konkret. Rakyat juga tidak bisa lagi dipengaruhi oleh tampilan tokoh-tokoh agama seperti kiai dan ulama agar memilih calon tertentu.
Nyatanya, pada Pilpres yang lalu pasangan JK-Win yang diusung Partai Golkar mengalami kekalahan cukup telak walau mendapat dukungan dari tokoh NU dan Muhammadiyah. Padahal, dalam iklan kampanye pasangan JK-Win disebut-sebut sebagai pasangan yang mempresentasikan umat Islam. Sementara, pasangan SBY-Boediono yang sempat diterpa isu bahwa istri Cawapres Boediono sebagai nonmuslim, justru mampu menyelesaikan pilpres dengan satu putaran. Belajar dari itu semua, maka kunci utama untuk merebut hati rakyat adalah adanya sikap yang jelas dari kandidat. Para kandidat harus mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang bisa dijadikan teladan.
Apa yang dapat diyakini dan dicontoh masyarakat jika kandidatnya selalu mengkritik hal-hal yang tidak krusial. Masyarakat tentu akan menaruh simpati kepada calon pemimpin yang santun, rendah hati dan andap asor, ketimbang calon pemimpin yang selalu mengumbar janji dan menepuk dada bahwa dirinyalah yang terbaik. Bukankah baik buruknya seseorang bukan atas pengakuan diri pribadi, melainkan orang lain? Akibat perilaku politik seperti ini, maka yang mencuat ke permukaan adalah tampilan negatif yang terus mengendap di memori masyarakat. Masyarakat menjadi terkontaminasi oleh hal-hal yang sebenarnya hanya dilakukan oleh segelintir orang.
Politik santun semestinya telah menjadi bagian dinamika kehidupan perpolitikan di seluruh tanah air. Sebab, reformasi yang telah melahirkan dan mengakomodasi kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat semestinya menjadi tahapan terwujudnya kedewasaan berpolitik. Bahkan, reformasi semestinya menjadi garansi lahirnya politisi-politisi yang matang. Politik santun dan kesantunan berpolitik bukanlah sekedar wacana. Semua bisa diwujudkan dan tidak terlalu sulit untuk mewujudkannya.
Modalnya hanya sebuah dorongan dan tekad yang bulat untuk mempraktekkan politik yang bermoral dan santun dalam bingkai kesungguhan hati, kejernihan berpikir, serta keberanian untuk memulai. Bila ini dilakukan, tontonan yang disajikan para politisi kita akan berisi tuntunan yang menjadi referensi masyarakat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya politik masyarakat kita masih bersifat patron-clien.
Para kandidat harusnya mau belajar dari prinsip-prinsip kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo. Artinya elit politik harus menjadi contoh teladan bagi pengikutnya, yakni masyarakat. Dalam bahasa psikologi elit politik menjadi model bagi masyarakatnya. Menjadi kewajiban kita bersama untuk menyebarkan benih-benih positif tentang aspirasi rakyat dalam menentukan pilihan bagi calon pemimpinnya secara aman dan damai sebagai penyeimbang dan penyanding potensi-potensi konflik.
Harus disadari, dilihat secara psikososio kultural dan historis maka Pemilu sebagai instrumen politik sangat sarat dengan muatan konflik. Secara kultural, etika dan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kedisiplinan sangat berpeluang untuk dilanggar. Di sisi lain upaya menegakkan kultur agar yang menang siap rendah hati dan tidak arogan, yang kalah mau dan berani menerima kekalahan secara satria dan sabar merupakan kultur yang belum mapan dalam masyarakat kita. Nyatanya dalam setiap kali Pemilu sejak kampanye sampai pengumuman hasilnya psikologi massa cenderung labil dan mudah agresif. Kita patut bersyukur bahwa sebagian besar masyarakat di provinsi Lampung telah tertanam kesadaran akan arti pentingnya etika dan kedamaian yang tumbuh secara total dari bawah melalui sinergi hati nurani rakyat dan wawasan budaya.
Masih terbuka peluang bagi kita untuk mewujudkan pemilu aman dan damai sebagai jembatan emas membangun daerah kabupaten dan kota di provinsi Lampung yang lebih baik. Maka tidak ada pilihan kecuali semua pihak harus memainkan perannya untuk mewujudkan cita-cita tesebut. (*)

REFLEKSI BIDANG POLITIK SUMBAR 2011

Bertemu Konstituen Enggan, Studi Banding Kencang
Ditulis oleh: Gebril Daulai


Meski terbaring lemas di rumah sakit dan sedang diinfus, salah seorang anggota DPRD di salah satu daerah di Sumatera Barat (Sumbar) masih sempat-sempatnya bertanya kepada stafnya yang datang berkunjung, ”kapan jadwal workshop saya,” katanya.

Ada pula anggota DPRD yang baru saja turun dari pesawat usai umrah dari tanah suci, sudah minta dibuatkan surat tugas mengikuti kunjungan kerja. Padahal, masa cutinya belum habis dan dia belum masuk kerja. Beruntung stafnya berani mengingatkan sang anggota dewan. Dia mencoba memberi pemahaman bahwa kunjungan kerja tak bisa dilakukan dalam masa cuti. Kalau mau berangkat juga harus masuk kerja dulu.

Sang anggota dewan tak jadi berangkat. Selamatlah dia. Bayangkan jika dia tetap ngotot pergi. Hari itu dia pulang ibadah, hari itu pula dia sudah menorehkan dosa pertamanya karena memaksa berangkat kunjungan kerja (kunker). Otomatis stafnya harus menyiapkan absensi fiktif untuk menyatakan bahwa hari itu dia sudah masuk kerja.  

Inilah sekelumit cerita anggota dewan kita hari ini. Hampir sama di semua daerah, kabupaten/kota maupun provinsi. Perilakunya masih saja tetap tidak berubah. Kepeduliannya terhadap persoalan kemasyarakat masih lemah. Saat reses ke daerah pemilihan (dapil), terkadang hanya dihadiri 4 sampai 6 orang saja.

Untuk satu dapil, beranggotakan 11 sampai 12 orang. Beda saat kunker ke luar provinsi, tak satu orang pun yang mau ketinggalan. Yang sakit pun bela-belain untuk berangkat.

Banyak kegiatan yang membuka peluang DPRD ke luar daerah. Mulai dari workshop, dalam setahun anggaran bisa mencapai 8 kali, bahkan di beberapa kabupaten/kota yang sampai 10 kali. Studi banding/studi komparatif atau biaya operasional pimpinan (BOP) sebanyak 4 kali, kunjungan masa sidang 3 kali, kunjungan alat kelengkapan dewan rata-rata 3 sampai 4 kali dalam satu tahun, kunjungan insidentil tergantung kegiatan seperti pembahasan rancangan peraturan daerah (ranperda).

Untuk pembahasan perda, rata-rata satu tahun DPRD bisa membahas 12 perda. Setiap perda ada peluang kunjungan ke luar daerah tiga kali yakni studi banding, konsultasi dan konsultasi pimpinan. Jika ada 12 perda, berarti ada 36 kali kunjungan ke luar provinsi. Besaran dana yang mereka terima dari setiap kegiatan itu, bervariasi tergantung daerah tujuan dan jumlah harinya.

Untuk sekali workshop ke Jakarta, misalnya, anggota dewan terhormat ini mendapat uang belanja sekitar Rp 16 juta selama 4 hari. Biasanya, surat perintah perjalanan dinas (SPPD) sebanyak Rp 6,2 juta, tiket dan airport tax Rp 5 juta tergantung harga yang berlaku saat itu. Kemudian kontribusi sekitar Rp 4,5 juta dan taksi Rp 300 ribu.  

Tingginya semangat kunker ini, tak lepas dari potensi rupiah yang bisa diraup dari sana. Sebab, ongkos politik yang mereka keluarkan untuk bisa duduk di DPRD sangat besar. Bayangkan, ada anggota DPRD kabupaten yang harus menghabiskan dana Rp 800 juta untuk meraih sekitar 2.500 suara. Jika dihitung secara matematis, maka harga setiap suara sebesar Rp 320 ribu. Sesuatu yang sangat mahal untuk ukuran Sumbar.  

Ke depan, tugas pemerintah dan partai politik untuk mengedukasi pemilih. Sudahi memilih karena politik uang pada masa mendatang. Mari kita bangun politik yang sehat dan berkualitas. Jangan lagi gara-gara uang Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu, kita tega menggadaikan masa depan daerah dan bangsa dengan memilih orang yang tak berkualitas dan kurang responsif dengan persoalan masyarakat.

Para wakil rakyat jangan hanya diam saat membahas program dengan struktur kerja perangkat daerah (SKPD), bahkan terkadang ada yang tidak hadir. Padahal, di saat itulah mereka harus bersuara keras. Mengkritisi program pemerintah agar sesuai kebutuhan masyarakat, adalah peran yang dirindukan konstituen.

Ketua DPD Partai Golkar Sumbar Hendra Irwan Rahim menekankan bahwa perbaikan citra DPRD juga merupakan tanggung jawab partai. Sebab, para wakil rakyat yang duduk di DPRD itu merupakan perpanjangan tangan partai. Menurutnya, kunker ke luar provinsi itu tergantung kegiatan. Jika kegiatan DPRD banyak otomatis kunker juga banyak.

Yang penting, kata Hendra, hasil kunjungan itu dibahas bersama eksekutif dan benar-benar bisa memberi penguatan terhadap kegiatan yang dilakukan, misalnya terhadap substansi perda yang sedang dibahas. ”Kita selalu bilang kepada kader yang di DPRD untuk respons dengan persoalan masyarakat. Kalau ada anggota yang reses ke dapil hanya titip absen saja, silakan dilaporkan ke kami,” ujarnya.

Khusus kunker ke luar daerah, kata Hendra, tergantung kegiatan DPRD. Partai melalui fraksi sebagai perpanjangan tangannya di DPRD hanya bisa memberi masukan dan saran, hasilnya kan diputuskan bersama. Karena itu, ke depan, antarpartai yang memiliki anggota yang duduk di DPRD, secara bersama juga perlu membahas upaya perbaikan kinerja dan citra DPRD.

Aroma politik transaksional dan pragmatis juga merebak di lingkungan birokrasi pemerintah. Tarik menarik kepentingan begitu kental terasa dalam penempatan jabatan di ”kabinet” Irwan Prayitno-Muslim Kasim. Meski berkali-kali dibantah duet Irwan-MK, adu kekuatan di rumah bagonjong (Kantor Gubernur, red), di mata publik sudah menjadi rahasia umum. Tak heran, muncul istilah ”matahari kembar” di Pemprov Sumbar.   

Bulan madu Irwan-MK praktis hanya seumur jagung. Kemesraan duet pemimpin yang mengusung jargon ”Perubahan Sumbar yang Lebih Baik”, dalam sekejap masuk angin kepentingan politik pragmatis. Sejumlah friksi terjadi selama 2011. Di antaranya, persoalan pelantikan penjabat Bupati Mentawai kepada Wabup Mentawai Yuddas Sabaggalet, yang juga bupati terpilih Mentawai, penggantian Harmensyah sebagai kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, dan penandatanganan MoU Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Penggunaan Anggaran Sementara (KUA PPAS) APBD 2012.  

Adu kekuatan matahari kembar itu, semakin menguatkan kesan bahwa pemimpin daerah ini cenderung mengedepankan kepentingan kekuasaan, ketimbang bekerja keras untuk rakyat. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, hampir 95 persen hubungan kepala daerah dan wakilnya pada 2010, tidak harmonis. Keretakan itu pula memunculkan gagasan agar wakil kepala daerah dihapuskan dalam pemilihan kepala daerah dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada. Selanjutnya, wakil kepala daerah ditunjuk oleh kepala daerah pemenang pilkada.

Kentalnya politik transaksional dan pragmatis pejabat publik dan elite politik di Sumbar, dengan sendirinya membunuh harapan masyarakat terhadap masa depan Ranah Minang. Bila politik culas dan egois itu masih dikedepankan para aktor-aktor demokrasi di daerah ini, bukan tidak mungkin masyarakat semakin apatis dan permisif dengan pemimpinnya.
Krisis kepercayaan terhadap pemerintah bakal menguat pada 2012, mengingat semakin berjaraknya antara pemimpin dengan yang dipimpin. Bila pemerintah tidak mampu lagi membangun harapan rakyatnya, boleh jadi seorang pemimpin dikatakan gagal. Mumpung ada tiga tahun lagi, masih ada duet Irwan-MK mewujudkan slogannya ”perubahan Sumbar yang lebih baik.” (gebril daulai)


"Penulis selain berfrofesi sebagai wartawan juga aktif dalam berbagai organisasi.
Salah satu nya sebagai Wakil Sekretaris KNPI SUMBAR".

MASTER MISTER RIZKY 1

THE - RIZK

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

TOP POST


Engkau yang muda dan besar impiannya,
tapi yang sedang digalaukan
oleh ketidak-pastian masa depannya,
dengarlah ini …

Jagalah impianmu tetap besar,
jadikanlah hatimu lebih kuat daripada keraguanmu,
pastikanlah kesungguhan kerjamu juga sebesar impianmu,
dan ikhlaslah bekerja keras dan jujur
dalam pekerjaan yang sederhana,
tapi yang menuntunmu menuju impianmu.

Syukurilah kesederhanaan dalam diri dan pekerjaanmu,
karena rasa syukurmu adalah penghubung
antara kerja kerasmu dengan kemurahan Tuhan Yang Maha Kaya.

Jujurlah, rajinlah, dan bersabarlah!
Engkau akan sampai.

Total Tayangan Halaman


ChatBox

Blogger templates

free counters

Blogger templates

KURS DAN NILAI TUKAR RUPIAH HARI INI

Kurs Jual Beli
USD9120.008870.00
SGD7115.306892.30
HKD1174.151140.05
EUR12196.1511835.15
GBP14153.0513712.05
JPY112.71108.52

NILAI TUKAR RUPIAH

ADA YANG BARU DI SINI (NEW)

SILATURRAHIM LINK


Add and Follow me

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Popular Posts